Selasa, 17 Januari 2017

Pesona Alor



Di daratan Pulau Alor berdiam beberapa suku tradisional dengan adat-istidat yang tidak banyak berubah sejak zaman batu, bahkan salah satunya masih menyimpan tradisi membuat pakaian dari kulit pohon (pakaian ka). Kemegahan budaya Alor dapat Anda jumpai pada suku Takpala yang tinggal di Desa Lembur Barat, Alor Tengah Utara. Suku adat ini masih memegang teguh tradisi dengan mempertahankan rangkaian bangunan adat berbentuk limas beratap daun kelapa, ditopang empat pilar dalam bingkai pohon asam dan berdinding anyaman bambu. Desa ini didiami suku Abui sebagai suku terbesar di Alor dengan dua rumah adat sebagai simbol utama dan 13 rumah gudang (lumbung pangan).

Salah satu kekayaan budaya di Nusa Tenggara atau Sunda Kecil adalah wilayah ini memiliki banyak sekali bahasa daerah (baca: bahasa suku). Di Pulau Alor ada puluhan bahasa dari suku yang mendiami kampung-kampungnya. Banyaknya bahasa di Alor telah ditelaah oleh peneliti bahasa mancanegara sejak tahun 1930-an.

... . Alor memiliki air laut yang bersih, biota laut yang beraneka ragam, dan terdapat titik-titik selam yang dapat dinikmati pada malam hari. Alor adalah taman laut kelas dunia.

— Karl Muller, "East Of Bali"

Di pesisir pantai Alor, ada sebuah desa yang menyimpan Al-Quran tertua di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Al-Quran tersebut terbuat dari kulit kayu dan pewarna alam dengan usia diperkirakan lebih dari 800 tahun. Al-Quran tua ini pernah sekali keluar dari Alor pada April 2011 untuk dipamerkan dalam Festival Legu Gam, Ternate, melalui Kesultanan Ternate.

Luas Pulau Alor adalah 2.119,7 km² dengan jumlah penduduk sekira 181.913 jiwa (2010). Kabupaten Alor sendiri merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 20 pulau dalam 17 kecamatan. Ada 9 pulau yang telah dihuni, yaitu: Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Ternate, Kepa, Pulau Buaya, Pulau Kangge, dan Pulau Kura. 11 pulau lainnya tidak berpenghuni, masing-masing Pulau Sikka, Pulau Kapas, Pulau Batang, Pulau Lapang, Pulau Rusa, Pulau Kambing, Pulau Watu Manu, Batu Bawa, Pulau Batu Ille, Pulau Ikan Ruing dan Pulau Nubu.

Alor termasuk salah satu dari 92 pulau terluar di Indonesia karena berbatasan dengan Timor Leste dan Selat Ombay di sebelah selatan. Alor adalah kepulauan yang dilintasi jalur pelayaran dagang internasional ke Samudera Pasifik. Di bagian Utara Alor berbatasan dengan Laut Flores, di bagian Barat dengan Selat Lomblen dan Kabupaten Lembata, serta di bagian Timur dengan kepulauan Maluku Tenggara Barat.

Wilayah Pulau Alor mempunyai ketinggian rata-rata sekira 6 hingga 1700 meter di atas permukaan laut dengan iklim semiarid, yaitu terjadi pergantian musim yang periodenya tidak seimbang. Setiap tahun musim hujannya singkat selama 3–5 bulan dan musim kemaraunya panjang 7-8 bulan. Sungai-sungai di Pulau Alor terbilang pendek dan sempit serta mengalir ke arah utara dan selatan lalu bermuara di Laut Flores, Selat Ombai dan Teluk Kalabahi.

Saat ini Kabupaten Alor terdiri dari 17 kecamatan dengan kondisi daratan yang berbukit dan bergunung sehingga memberi variasi iklim yang berbeda tetapi bermanfaat untuk beragam tanaman produksi. Beberapa tanaman yang dibudidayakan adalah: padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, kelapa, kopi, jambu mente, cengkeh, kemiri, pinang, vanili, kakao, pala, dan lada.

Keindahan alam dan keramahan masyarakat di pulau ini seakan menyatu dan membingkiskan pengalaman yang berkesan. Kadang dalam kesederhanaan dapat Anda termukan kedekatan hati dan kesan yang mendalam. Berkunjung ke Alor akan memberi Anda pengalaman menikmati alam yang indah dan sentuhan interaksi masyarakatnya yang ramah. Hal itu seperti banyak disebut orang-orang bahwa kepanjangan Alor adalah: Alam Lestari dan Orang Ramah.#

Sabtu, 14 Januari 2017

Asal Usul Raja Nampira Bukang




Bapak Bukang beristri Ina Enang yang berasal dari Foang/Hamap dan mempunyai 5 (lima) orang anak yakni; Bapak Pehi, Bapak Nampira, Ina Beng, Bapak Bala, Bapak Duru alias Gama Kae

Bapak dari bapak Bukang adalah bapak Lensu. Bapak Lensu beristri Ina Beruang yang berasal dari Lewohayong/Solor/Flores Timur memiliki 2 orang anak yakni; Bapak Bukang dan Bapak Tang Bang. Bapak Lensu adalah anak dari Bapak Kalipang Dopo Nae yang beristi Ina Pulo yang berasal dari Selayar Sulawesi Selatan dikaruniahi 5 (lima) orang anak yakni; Bapak Kene Kae, Bapak Lalang Duli, Bapak Gawi Lewa, Bapak Lensu

Bapak dari Bapak Kalipang Dopo Nae adalah Bapak Dopo Nae yang beristri Ina Bepang yang berasal dari kampung Limarahing-Pura, dikaruniahi 4 (empat) orang anak yakni; Bapak Sala Dopo Nae, Bapak Kimung Dopu Kae, Bapak Namang Dopu Kae, dan Bapak Kalipang Dopu Nae.
 
Raja Nampira Bukang dari Dulolong di Alor, Dulolong sendiri berarti : Du artinya Turun dan Lolong artinya dari atas. Dulolong artinya turun dari atas. Olehnya Bapak Sala Dopo Nae, Bapak Kimung Dopu Kae, Bapak Namang Dopu Kae, dan Bapak Kalipang Dopu Nae turun lalu kebawah dan membentuk Laffo artinya kampong yang dibentuk diatas tanah “Dola Anabang yang dimulai dari atas”. Bu Faita sampai dengan diatas Buu Hul. Du yang berarti turun itu dari atas tanah “Dola Anabang”.

Ditulis oleh Eka R. Abdurachman Nampira, SP

RAJA AHMAD BALA NAMPIRA



Adalah anak dari Bapak RAJA MARDJUKI BALA NAMPIRA atau cucu dari Bapak Raja Nampira Bukang. Bapak RAJA AHMAD BALA NAMPIRA adalah Raja Alor ke-IV atau Raja Alor terakhir.

Bapak Ahmad Bala Nampira dinobatkan menjadi Raja Alor ke-IV berdasar surat ikrar kerajaan Alor yang diucapkan oleh Raja ke-III  Bapak Oemar Watang Nampira. Karena Bapak Raja Ahmad Bala Nampira menolak menandatangani naskah perjanjian (Kasta Verklaring) tentang pengakuan kembalinya pemerintah Belanda di Alor sebagai Pemerintah yang sah, maka Belanda menyerahkan kembali Raja Alor itu kepada Bapak Oemar Watang Nampira.

Setelah pembatalannya menjadi Raja Alor, maka kepada Bapak Ahmad Bala Nampira diberi gelar Raja Muda. Setelah itu Bapak Ahmad Bala Nampira mengambil alih kekuasaan Pemerintah Swapraja Alor / Pantar dari Bapak Oemar Watang Nampira terhitung sejak tanggal 1 Maret 1952 sampai dengan akhir bulan Juni 1962, karena sesuai dengan UU No. 64 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara, dan UU No. 69 tahun 1958 tentang pembentukan Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, NTB, NTT sehingga pemerintah Swapraja dilebur menjadi kecamatan, maka pada tanggal 7 Juli 1962 telah diadakan serah terima barang-barang milik Pemerintah Swapraja Alor / Pantar kepada pemerintah Daerah Swatantra Tingkat II Alor, dan bertepatan dengan hari itu juga diadakan ramah tamah perpisahan antara Kepala Swapraja Alor / Pantar, Dewan Pemerintah Daerah Sementara Swapraja Alor / Pantar, 4 (empat) orang Kapitan bersama staf kantor  Swapraja Alor / Pantar bertempat dikantor Swapraja Alor / Pantar di Kalabahi, yang saat ini dipakai sebagai kantor Camat Teluk Mutiara.

Bapak Raja Ahmad Bala Nampira menikah dengan Mama Siti Amina M. Tahir asal Lamahala / Flores Timur dari suku Hering Guhir, Bapak Raja Ahmad Bala Nampira menunaikan ibadah haji bersama istrinya tahun 1983 dan Bapak Raja Ahmad Bala Nampira meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1991 dan istrinya Hj. Siti Amina M. Tahir meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 1999.#

Ditulis oleh Eka R. Abdurachman Nampira, SP


RAJA OEMAR WATANG NAMPIRA



Raja Oemar Watang Nampira adalah anak dari bapak Watang Nampira (Watang Nampira adalah anak Bapak Raja Nampira Bukang dari istri pertama) atau Raja Oemar Watang Nampira adalah cucu dari Bapak Raja Nampira Bukang. Raja Alor ke III yang mulai memangku jabatan sejak bulan April tahun 1919 sampai dengan bulan Februari tahun 1952 sesuai dengan surat ikrar yang diucapkan Bapak Oemar Watan Nampira pada tanggal 16 April 1919, dan kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan Swapraja Alor / Pantar kepada Raja Alor ke-IV (Raja Terakhir) kepada bapak Ahmad Bala Nampira. 

Pada masa berkuasa bapak Oemar Watang Nampira, di Pantar ada 2 (dua) kerajaan yaitu kerajaan Baranusa dan Pantar Matahari Naik, tapi dari pihak pemerintah Belanda, dalam hal ini oleh Residen Timor, menggabungkan kedua kerajaan ini kedalam kerajaan Alor, dengan Surat Keputusan tanggal 7 Juli 1926 Nomor : 297. Raja Alor ke-III ini memiliki 2 (dua) orang istri. Istri pertama bernama Mama Holo Tulimau, anak dari Raja Tulimau yang berasal dari Bunga Bali di Alor Besar dan istri ke-2 bernama Mama Hulu dari Wahing/Aimoli.#

Ditulis oleh Eka R. Abdurachman Nampira, SP